Posted: 18 Sep 2011 12:28 PM PDT
Tim
Penelitian Arkeologi Nasional Puslit Arkenas Departemen Kebudayaan
dan Pariwisata RI diketuai Prof DR Truman Simanjuntak berhasil
menemukan 17 kerangka manusia kuno di Gua Harimau Desa Padangbindu
Kecamatan Semidangaji Kabupaten OKU Sumsel.
PUSLIT ARKENAS/HANDOUT
Tim peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI melakukan penelitian situs purbakala yang ditemukan di Gua Harimau Desa Padangbindu Kecamatan Semidangaji, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan. Di tempat ini ditemukan fosil manusia berumur sekitar 3.000 tahun dengan panjang kerangka yang masih utuh sekitar 2 meter. Selain itu juga ditemukan lukisan pada dinding gua yang selama ini belum pernah ditemukan pada berbagai penelitian gua di seluruh Indonesia. Temuan lain di tempat ini berupa peralatan rumah tangga yang terbuat dari batu.
Lebih dari 28 tahun lalu kawasan Desa Padang Bindu dan sekitarnya dilanda bencana hebat. Banjir bandang meluluhlantakkan sejumlah desa yang ada di bagian hulu tepian Sungai Ogan itu. Tercatat 200 lebih orang tewas terseret air bah. Beberapa di antaranya hilang hingga kini, tidak bisa dilacak di mana kuburnya.
PUSLIT ARKENAS/HANDOUT
Fosil manusia berumur sekitar 3.000 tahun dengan panjang kerangka yang masih utuh sekitar 2 meter ini ditemukan di Gua Harimau Desa Padangbindu Kecamatan Semidangaji, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan.
Tiga di antara 18 individu manusia prasejarah hasil ekskavasi tim Puslitbang Arkenas di Gua Harimau itu sepertinya dikubur pada saat bersamaan dalam satu liang. Persis di bawah rangka utama, dua rangka individu lain terlihat saling bersentuhan dalam posisi bagai menyangga "sang majikan" yang dikubur di atas keduanya.
Truman Simanjuntak yang
ditemui di lokasi penggalian Kamis (14/4/2011) mengatakan Gua Harimau
memperlihatkan indikator hunian prasejarah dan sekaligus hamparan
kuburan. Terbukti sejak penelitian dari tahun 2008 hingga saat ini
sudah 17 kerangka manusia kuno yang diperkirakan hidup 3.000 tahun
lalu, ditemukan. Peneliti juga menemukan perkakas rumah tangga dari
bahan logam.
Truman
didampingi Kepala Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata OKU
Aufa S Syarkomi, mengatakan tim peneliti akan melakukan penelitian
dari tanggal 12 hingga 30 April mendatang di Gua Harimau.
Menariknya tim peneliti juga
menemukan satu kuburan dengan tiga tengkorak digabung dalam satu
liang. Menurut Truman penemuan ini semakin unik dan menarik untuk
diteliti. "Mungkin yang meninggal ini anak raja atau pemimpin,
biasanya pengawalnya ikut dibunuh dan dikubur dalam satu lubang supaya
anak raja ini bisa ada teman didunianya yang baru," terang Truman
seraya menambahkan itu baru analisa sementara, karena masih banyak
kemungkinan-kemungkinan lain.
Sejumlah
kerangka manusia kuno ini dikubur dengan berbagai posisi (tidak satu
arah), ada tengkorak orok. Baru separoh gua yang digali sudah
ditemukan belasan tengkorak. "Sudah terlihat hamparan kuburan," kata
Truman seraya menambahkan dapat disimpulkan Gua Harimau merupakan
hunian dan sekaligus hamparan kuburan.
Berbeda dengan tempat-tempat
lain yang biasanya kuburan tidak disatukan dengan hunian namun di Gua
Harimau ini karena ukuran guanya luas sehingga bila ada anggota
kelurga yang meninggal langsung dikubur di gua.
Gua
ini tergolong luas dengan ukuran pintu masuk dan ruang gua-gua 40-50
M. langit-langit atap gua sangat tinggi sekitar 20-35 meter. Sementara
ditempat-tempat lain kata Truman biasanya kuburan berada
dipuncak-puncak gua supaya tidak mengganggu aktivitas penghuni gua.
Prof Truman kepada Aufa S
Syarkomi yang melihat langsung aktivitas peneliti berjanji akan datang
kembali ke lokasi. "Saya sangat tertarik dan ingin tahu lebih jauh
seputar temuan penelitian di Gua Harimau ini," kata Aufa.
Sedangkan Truman mengungkapkan akan melakukan penelitian dari tanggal
11 hingga 30 April mendatang di Gua Harimau.
Tim berjumlah 13 orang
masing-masing Prof DR Truman Simanjuntak (ketua) Drs Wahyu dan anggota
Saptomo M Hum, Dr Bagyo Prasetyo, Dr Fadilla Arifin Aziz, Jatmiko M
Hum, Retno Handini MSi, Dwi Yani Yuniawati M Hum, Dariusman Abdillah
ST, Dra Vita dan tiga tenisi Romania Lumban Gaol, Ngadiman dan Sigit
Eko Prasetyo.
Posted: 18 Sep 2011 12:25 PM PDT
PUSLIT ARKENAS/HANDOUT
Tim peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI melakukan penelitian situs purbakala yang ditemukan di Gua Harimau Desa Padangbindu Kecamatan Semidangaji, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan. Di tempat ini ditemukan fosil manusia berumur sekitar 3.000 tahun dengan panjang kerangka yang masih utuh sekitar 2 meter. Selain itu juga ditemukan lukisan pada dinding gua yang selama ini belum pernah ditemukan pada berbagai penelitian gua di seluruh Indonesia. Temuan lain di tempat ini berupa peralatan rumah tangga yang terbuat dari batu.
Lebih dari 28 tahun lalu kawasan Desa Padang Bindu dan sekitarnya dilanda bencana hebat. Banjir bandang meluluhlantakkan sejumlah desa yang ada di bagian hulu tepian Sungai Ogan itu. Tercatat 200 lebih orang tewas terseret air bah. Beberapa di antaranya hilang hingga kini, tidak bisa dilacak di mana kuburnya.
Ratusan
rumah panggung yang ada di sana pun ikut disapu arus yang naik dan
melimpas desa begitu cepat. Ulak Pandan dan Batanghari—dua desa yang
mengapit Padang Bindu, di hilir dan hulunya—tercatat menderita paling
parah.
"Waktu
itu saya masih kelas II SD. Kami, tujuh bersaudara, hanya dua yang
selamat. Lima saudara saya yang lain meninggal, satu di antaranya
hilang. Sampai hari ini tidak terberitakan kalau-kalau ada orang yang
menemukan mayatnya di daerah hilir sana," tutur Zarkoni (36), penduduk
Desa Ulak Pandan.
Padang
Bindu dan sekitarnya, yang secara administratif berada di wilayah
Kecamatan Semidang Aji, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan,
memang rawan banjir. Sungai Ogan merupakan daerah limpasan air yang
turun dari gugusan perbukitan di lereng timur Pegunungan Bukit Barisan.
Begitu
banyak mata air di sana, membentuk sungai-sungai kecil dan semua
mengalir dan bermuara ke Sungai Ogan sebagai "induk"-nya. Sungai Ogan
sendiri, bersama delapan sungai besar lain yang ada di Sumatera Selatan,
pada akhirnya mengalir dan bermuara ke sungai yang lebih besar lagi:
Sungai Musi!
Sejak
tragedi tahun 1982 itu, peristiwa banjir dalam skala serupa memang
tidak pernah terjadi. Akan tetapi, seiring perubahan bentang alam
kawasan ini, ketika hutan-hutan di perbukitan terus dibuka untuk
perladangan dan wilayah "hutan larangan" sebagai daerah tangkapan hujan
di hulunya mulai diincar pemodal besar untuk dijadikan perkebunan kelapa
sawit, ancaman banjir bandang dalam skala yang mungkin lebih besar
bukan suatu kemustahilan akan berulang. Lebih-lebih di tengah perubahan
iklim global seperti sekarang.
"Takut
nian, Pak, kami kalau sampai hutan di hulu sana 'dijual' oleh
pemerintah untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit. Sebab, kabarnya
daerah 'hutan larangan' itu sudah akan dibuka, tinggal menunggu waktu,"
kata salah seorang penduduk Padang Bindu.
Di
tengah kekhawatiran sebagian kecil warga yang paham akan risiko banjir
bandang yang mungkin suatu saat akan terulang, di tengah kian rusaknya
kawasan perbukitan di pinggang timur Pegunungan Bukit Barisan di wilayah
ini, sejak 10 tahun terakhir sebuah aktivitas kecil oleh tim penelitian
dari Puslitbang Arkenas mencoba mengeksplorasi jejak-jejak hunian
prasejarah di daerah mereka.
Hanya
beberapa kilometer di seberang desa mereka, dipisah oleh Sungai Ogan
yang berair keruh-pekat—tanda di bagian hulu terjadi erosi
terus-menerus—terbentang gugusan perbukitan karst yang diselang-selingi
tanah datar. Jauh lebih ke belakang, Pegunungan Bukit Barisan menjadi
semacam penyekat bagian timur dan barat Pulau Sumatera.
Hasil
penelitian awal cukup mencengangkan. Dari kotak-kotak galian di Gua
Harimau saja sudah 18 individu manusia prasejarah ras Mongoloid yang
berhasil diidentifikasi. Jarak antara satu individu dan individu yang
lain sangat dekat. Lokasi kuburan pun menyebar di seluruh kotak yang
digali, mengindikasikan Gua Harimau sebagai lokasi penguburan.
Di
lokasi galian juga didapati distribusi artefak—berupa alat serpih
terbuat dari rijang, obsidian, dan batu gamping kersikan—dalam sebaran
yang cukup signifikan. Ini mengindikasikan fungsi gua tak hanya untuk
pemakaman, tetapi sekaligus tempat hunian.
Jejak hunian masa lampau itu kini mulai terkuak. Akankah kawasan bersejarah itu rusak akibat keserakahan manusia masa kini?
Posted: 18 Sep 2011 12:23 PM PDT
PUSLIT ARKENAS/HANDOUT
Fosil manusia berumur sekitar 3.000 tahun dengan panjang kerangka yang masih utuh sekitar 2 meter ini ditemukan di Gua Harimau Desa Padangbindu Kecamatan Semidangaji, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan.
Tiga di antara 18 individu manusia prasejarah hasil ekskavasi tim Puslitbang Arkenas di Gua Harimau itu sepertinya dikubur pada saat bersamaan dalam satu liang. Persis di bawah rangka utama, dua rangka individu lain terlihat saling bersentuhan dalam posisi bagai menyangga "sang majikan" yang dikubur di atas keduanya.
Posisi
penguburan yang unik sekaligus menimbulkan tanda tanya. Mungkinkah
dalam sistem penguburan pada masa itu, antara 3.500 dan 2.000 tahun
lalu, manusia prasejarah di Nusantara telah mengenal strata sosial di
mana apabila ada tokoh atau orang-orang tertentu meninggal, maka perlu
ada tumbal yang harus ikut dikubur? Mungkinkah sudah ada kepercayaan
kehidupan setelah mati di alam lain sehingga "sang majikan" tetap perlu
dilayani pascakematiannya?
"Segala
kemungkinan selalu ada, tetapi yang pasti seluruh rangka manusia dari
Gua Harimau merupakan ras Mongoloid," kata Harry Widianto, ahli
paleoantropologi yang juga adalah Kepala Balai Pelestarian Situs Manusia
Purba Sangiran.
Harry
begitu yakin temuan "kuburan" massal di Gua Harimau adalah sisa-sisa
rangka manusia prasejarah dari ras Mongoloid. Keyakinan itu berangkat
dari ciri-ciri morfologis rangka temuan, terutama dari bentuk tengkorak
yang meninggi dan membundar (brachycephal), tulang tengkorak bagian belakang (occiptal)
yang datar, morfologi gigi seri, bentuk orbit mata, kedalaman tulang
hidung (nasal), serta dari postur tulang dan tubuh mereka yang khas
Mongoloid.
"Ciri-ciri morfologisnya memang menunjukkan identitas mereka sebagai bagian dari ras Mongoloid," kata Harry.
Siklus kehidupan Individu-individu
itu umumnya dikubur dengan orientasi timur (kepala) dan barat (kaki).
Lewat penguburan semacam ini, patut diduga bahwa mereka sudah mengenal
semacam filosofi tentang siklus kehidupan. Arah timur sebagai lokasi
kepala adalah arah matahari terbit, sedangkan barat sebagai arah kaki
adalah arah matahari tenggelam. Dalam konteks ini, penguburan dengan
orientasi semacam itu mengacu pada asal mula (timur) dan akhir (barat)
dari kehidupan.
Filosofi
itu juga tecermin dari adanya penguburan terlipat, yang menggambarkan
posisi bayi di dalam perut sebelum ia dilahirkan. Dengan mengubur secara
terlipat diharapkan pada saat kematian yang bersangkutan telah
dibebaskan dari segala belenggu duniawi dan dikembalikan pada kehidupan
awal pada saat dia mati.
"Dengan
demikian, posisi penguburan terlipat tersebut mengisyaratkan individu
tersebut kembali suci pada saat dia meninggal," tutur Harry Widianto.
Melalui
temuan ini, teori baru tentang alur migrasi manusia prasejarah
pendukung budaya Austronesia ke Nusantara perlu dibangun kembali. Paling
tidak, teori lama bahwa "pendudukan" Sumatera oleh ras Mongoloid dari
daratan Asia melalui Taiwan-Filipina-Sulawesi—kemudian dalam perjalanan
migrasi mereka selanjutnya ke Madagaskar melalui Kalimantan, Sumatera,
dan Jawa (dikenal sebagai teori "Out of Taiwan")—bukanlah satu-satunya
kebenaran.
Sebab,
temuan-temuan rangka manusia berikut artefak tinggalan budaya mereka di
kawasan perbukitan karst Padang Bindu, Sumatera Selatan—juga temuan
semasa di Ulu Tijanko, Jambi—menunjukkan usia yang sama tuanya (sekitar
3.500 tahun) dengan budaya Austronesia di Sulawesi, misalnya. Tafsir
baru yang dapat dimajukan adalah bahwa sejak awal persebaran ras
Mongoloid tidak hanya terjadi di bagian tengah Nusantara (jalur
Taiwan-Filipina-Sulawesi), tetapi juga di bagian barat melalui daratan
Asia Tenggara ke Sumatera-Jawa.
"Sisa-sisa
rangka manusia di Gua Harimau, juga di Pondok Selabe dan Gua Putri yang
masih dalam satu kawasan, adalah bukti dari pergerakan 'jalur baru'
tersebut," kata Harry.
Patut
diduga mereka inilah para penghuni awal Sumatera. Dalam tahap evolusi
lebih lanjut, beribu-ribu tahun kemudian—setelah menanggalkan status
sebagai "manusia gua" dengan hidup dan menetap di lembah dan dataran
yang lebih luas—mereka pun membangun kebudayaan baru di daratan yang
kini disebut sebagai Pulau Sumatera. Dan, Gua Harimau adalah salah satu
lokasi kuburan para leluhur orang-orang Sumatera itu....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar