Posted: 18 Sep 2011 12:20 PM PDT
PUSLIT ARKENAS/HANDOUT
Fosil manusia berumur sekitar 3.000 tahun dengan panjang kerangka yang masih utuh sekitar 2 meter ini ditemukan di Gua Harimau Desa Padangbindu Kecamatan Semidangaji, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan.
Duduk berselonjor di antara sisa-sisa rangka manusia prasejarah yang begitu rapuh, Ngadiran tampak begitu menikmati pekerjaannya. Satu per satu rangka manusia purba itu ia gambar sesuai dengan keletakannya. Inilah proses identifikasi akhir sebelum kotak galian ditutup kembali.
Hingga
penggalian tahap kedua usai, sedikitnya 18 individu manusia penghuni
gua yang sudah diidentifikasi. Sebagian besar rangka temuan dalam
ekskavasi tim Puslitbang Arkenas di Gua Harimau—berada di perbukitan
karst sekitar tiga kilometer dari Desa Padang Bindu, Kecamatan Semidang
Aji, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan—itu relatif
masih utuh. Satu di antaranya bahkan terlihat seperti orang menyeringai
menahan rasa sakit.
"Lihat,
ekspresinya persis kayak orang sakit gigi," kata Nurhadi Rangkuti,
Kepala Balai Arkeologi Palembang, seraya menunjuk salah satu rangka di
kotak galian nomor dua.
Meski
sambil bergurau, Nurhadi Rangkuti sebetulnya tidak sedang bercanda.
Hasil pengamatan Harry Widianto, ahli paleoantropologi yang juga adalah
Kepala Balai Penelitian dan Pelestarian Situs Purbakala Sangiran,
menguatkan dugaan itu. Bahwa, salah satu penyakit yang terlihat pada
rangka-rangka manusia prasejarah dari Gua Harimau adalah adanya keropos
gigi (karies) yang cukup signifikan.
Pada
individu yang dirujuk Nurhadi, yang diidentifikasikan Harry sebagai
laki-laki dewasa, kerusakan pada giginya terlihat begitu parah. Karies
ini menyerang mulai dari mahkota gigi, akar gigi, dan berakibat pada
bagian atas rahang bawah.
"Kondisi penyakit seperti ini akan memberikan rasa sakit luar biasa kepada si penderita," ujarnya.
Rupanya,
dari hasil pengamatan Harry Widianto selama bertahun-tahun bergelut
dengan sisa-sisa rangka manusia prasejarah, penyakit karies gigi seperti
ini sangat menonjol pada ras Mongoloid. Bahkan, pada ras Mongoloid
dengan budaya Austronesia yang merupakan cikal bakal sebagian besar
manusia Indonesia (kecuali sejumlah kecil populasi di Indonesia bagian
timur yang termasuk ras Australomelanesid) saat ini, fenomena karies
gigi yang meluas tak hanya terjadi pada konteks prasejarah.
"Pada
populasi manusia ras Mongoloid sekarang pun, seperti saya ini, juga
banyak ditemukan mengidap penyakit karies gigi," kata Harry.
Terkait pola makan Berdasarkan
ciri-ciri morfologis, kuburan massal manusia prasejarah di Gua Harimau
memang menunjukkan identitas mereka sebagai bagian dari ras Mongoloid.
Kecenderungan umum pada kehidupan manusia prasejarah ras Mongoloid lebih
bertumpu pada kegiatan meramu tumbuhan. Model pola makan inilah yang
diduga menjadi penyebab utama karies gigi pada mereka.
Berbeda dengan Homo erectus
yang hidup selama masa Pleistosen (lebih dikenal dengan sebutan zaman
es) dan ras Australomelanesid pada pertengahan pertama masa Holosen
(sesudah Pleistosen). Kedua ras manusia prasejarah ini adalah pemburu
sejati dan hanya sedikit meramu tumbuhan. Oleh karena itu, pola makan
mereka lebih bertumpu pada protein hewani dan hanya sedikit mengonsumsi
karbohidrat.
Pengamatan Harry Widianto terhadap lebih dari 200 gigi-geligi Homo erectus
dari Afrika, Asia, dan Eropa yang hidup sekitar 1,5 juta-300.000 tahun
lalu menunjukkan tidak satu pun individu yang terserang penyakit karies
gigi. Begitu pun pada ras Australomelanesid, yang hidup di gua-gua
prasejarah di Pegunungan Sewu (membentang dari Kali Oya di Gunung Kidul,
DI Yogyakarta, hingga Teluk Pacitan di Jawa Timur) dan Kalimantan
Selatan pada 13.000-5.000 tahun lalu, juga tidak ditemukan individu yang
giginya keropos.
Sebaliknya,
pada ras Mongoloid (baru muncul di Nusantara sejak 4.000 tahun lalu)
dengan model alimentasi (diet, pola makan) lebih bertumpu pada makanan
yang mengandung banyak karbohidrat, penyakit keropos gigi terlihat
begitu menonjol. Lantas, di mana hubungan sebab-akibatnya?
Sudah
jadi pengetahuan umum bahwa jenis makanan yang banyak mengandung
karbohidrat, seperti padi-padian, talas, dan umbi-umbian akan
meninggalkan sisa makanan yang lebih melekat pada gigi. Selain melekat
pada gigi, karbohidrat juga memberikan banyak zat gula, yang diketahui
sebagai penyumbang munculnya karies gigi. Hal semacam itu tidak terjadi
pada para pemburu dan peramu yang mengonsumsi daging hewan.
Dengan
demikian, kata Harry, terdapat hubungan yang sangat logis antara
keropos gigi di kalangan Mongoloid dan model pola makan mereka yang
lebih banyak mengonsumsi karbohidrat. "Besar kemungkinan pola makan
tersebut, yang bertumpu pada ekonomi pertanian, yang telah memberikan
penyakit gigi kepada kalangan Mongoloid," papar Harry Widianto.
Pola
dan kebiasaan makan manusia Mongoloid prasejarah yang lebih bertumpu
pada karbohidrat itu diduga terus berkembang ketika mereka membangun
peradaban baru di luar gua, menjadi manusia menetap dengan membuka
ladang-ladang pertanian. Jadi, tak usah heran apabila sebagian besar
anak-cucu keturunan mereka hari ini (baca: bangsa Indonesia) lebih
bergantung pada asupan makanan yang mengandung karbohidrat ketimbang
protein hewani....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar